28 Juli 2007

CSR dalam UU

Tanggal : 28 July 2007
Sumber : http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=9779&Itemid=31


DALAM Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) yang telah disetujui rapat paripurna DPR untuk disahkan sebagai UU, poin yang paling disoroti adalah kewajiban melaksanakan CSR (corporate social responsibility). Dua kutub berbeda pendapat mengenai aturan itu. Yang setuju menyebutkan bahwa sudah seharusnya perusahaan mengalokasikan anggaran khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang tidak setuju berdalih kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab negara, bukan perusahaan. Selain dua pendapat tersebut, kewajiban CSR bagi perusahaan berbasis sumber daya alam (SDA) juga dinilai diskriminatif. Sebab, tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar seharusnya juga menjadi bagian inheren dari perusahaan yang menggali untung dari sebuah kawasan tertentu. Jika yang dibebani hanya yang berbasis SDA, perusahaan non-SDA akan enggan melaksanakan CSR. Dilihat dari konteks itu, aturan CSR hanya untuk perusahaan berbasis SDA memang sangat tidak adil.


Secara eksplisit, aturan perundangan yang mewajibkan sebuah perusahaan melaksanakan CSR bisa kontraproduktif, menurunkan daya saing bisnis, dan membebani perusahaan. Selama ini beberapa perusahaan besar telah melaksanakan CSR dan mengalokasikan anggaran khusus untuk itu, meski belum ada aturan tertulis yang mewajibkan. Pelaksanaan CSR muncul karena tanggung jawab sosial perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Jika masyarakat di sekitar perusahaan memiliki kehidupan lebih baik dan sejahtera, ini akan menjamin keamanan dan kelangsungan bisnis perusahaan.


Ketika pemerintah ”memaksa” sebuah perusahaan melaksanakan CSR, pengertiannya menjadi berbeda. Kegiatan CSR tidak muncul karena dorongan tanggung jawab sosial, tetapi khawatir melanggar UU. Memang mungkin kita akan melihat banyak wilayah yang menjadi maju dan berkembang --tapi itu dalam jangka pendek. Dampak jangka panjangnya akan menurunkan daya saing usaha. Jika demikian, pemerintah lebih sulit menarik masuknya investor-investor baru, baik dari dalam negeri maupun investor asing.


Benar pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban CSR rancu dengan beban pajak. Dunia usaha akan menanyakan kepada pemerintah, dialokasikan ke mana saja pajak yang telah dibayarkan perusahaan kepada pemerintah. Pertanyaan itu wajar mengingat salah satu fungsi pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program-program yang dilaksanakan pemerintah.


Kewajiban CSR bagi perusahaan jelas menjadi bukti gagalnya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah tidak mau menanggung malu dan membebankan program peningkatan kesejahteraan tersebut kepada swasta. Seharusnya, tanpa diatur UU pun, pelaksanaan CSR tetap dilakukan perusahaan. Sebab, dalam jangka panjang, tindakan itu membawa dampak positif bagi keberlangsungan perusahaan itu sendiri.


Namun, kini palu telah diketuk. UU PT baru akan mengatur bahwa perusahaan wajib CSR. Memang aturan tersebut baru diwajibkan kepada perusahaan yang berbasis SDA. Agar tidak menjadi bumerang, pemerintah perlu juga memberikan insentif pajak dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif pasca keluarnya aturan wajib CSR.


Tidak ada komentar: