16 Februari 2007

CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan

Tanggal : 16 Februari 2007
Sumber: http://www.itpin.com/blog/2007/02/16/csr-sebagai-bagian-dari-strategi-perusahaan/


Kesadaran perusahaan bahwa nasib dirinya tergantung juga pada kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar memang meningkat akhir-akhir ini. Karena itu, kita juga bisa lebih sering membaca berita tentang meningkatnya upaya-upaya yang termasuk sebagai corporate social responsibility (CSR). Di dalam negeri kita bisa melihat upaya-upaya seperti Telkom yang menyumbangkan komputer dan membantu koneksi Internet di desa-desa, Sampoerna yang rajin memberikan beasiswa, atau Unilever yang melalui produk Lifebouy membantu pembangunan kakus yang higenis di desa-desa. Siapapun yang melakukan hal-hal tersebut, dan apapun yang dilakukan mereka, kita tentu layak memberi mereka pujian. Kita juga berharap lebih banyak lagi perusahaan-perusahaan yang mengikuti jejak mereka.


Sayangnya, kebanyakan perusahaan masih melihat CSR sebagai bagian dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan.


CSR dan strategi perusahaan? Kedengarannya kedua hal tersebut saling bertentangan. Milton Friedman, sang ekonom pemenang Hadiah Nobel, malah mencibir upaya-upaya untuk menjadikan perusahaan sebagai alat untuk tujuan sosial. Tujuan korporasi, menurut beliau, hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomis buat para pemegang saham. Tentu saja pendapat Friedman tersebut dianggap semakin ketinggalan jaman. Walau demikian, menciptakan sinergi antara CSR dan strategi perusahaan bukanlah sesuatu yang lazim juga.


Untung saja beberapa perusahaan besar dan kalangan akademis, termasuk Michael Porter, Clayton Christensen, dan Rosabeth Moss Kanter (ketiganya dari Harvard Business School) telah berhasil membuktikan program-program CSR yang disinergikan dengan strategi perusahaan akan memberikan dampak yang jauh lebih besar kepada masyarakat dan perusahaan itu sendiri dibanding upaya-upaya CSR yang ala kadarnya. Menurut mereka, hanya dengan menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan, program-program CSR tersebut bisa langgeng. Karena strategi perusahaan terkait erat dengan program CSR, perusahaan tidak akan menghilangkan program CSR tersebut meski dilanda krisis, kecuali ingin merubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus-kasus CSR pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program CSR akan dipotong terlebih dahulu.


Salah satu contoh kasus yang sangat menarik adalah Nestle yang membantu para peternak sapi di India. Sebelum Nestle masuk ke India, para peternak yang sulit memperoleh akses ke saluran air bersih, tanah-tanah yang subur, dan infrastruktur lainnya yang mendukung harus puas hidup dengan sapi-sapi kurus dan berumur pendek. Ketika Nestle masuk ke India, perusahaan ini dengan cepat menyadari untuk mendapatkan pasokan susu murni yang cukup, mereka harus membantu para peternak tersebut. Maka, diluncurkanlah program CSR besar-besaran.


Nestle mendirikan pusat-pusat penyimpanan susu dengan mesin pendingin di beberapa tempat. Selain itu, secara berkala, mobil Nestle yang membawa para dokter hewan, ahli gizi, ahli pertanian, dan ahli kualitas datang mengunjungi para peternak. Bantuan finansial dan teknis juga diberikan untuk membantu para peternak menggali sumur-sumur dan memperbaiki sistem irigasi. Hasilnya? Ketika Nestle pertama kali meluncurkan program ini, hanya 180 peternak lokal yang ikut. Sekarang Nestle harus menangani sekitar 75.000 peternak. Produksi susu per peternak meningkat 50 kali lipat, dan taraf hidup para peternak tentu ikut meningkat jauh.


Contoh lainnya adalah grup hotel Marriott International yang memberikan pelatihan kerja kepada para pengangguran kelas berat. Program ini dijalankan di belasan kota di US. Marriott menjanjikan para peserta pelatihan pekerjaan tetap bila mereka berhasil lulus. Program ini ternyata bukan saja membantu para pengangguran tersebut dan masyarakat setempat, tetapi juga Marriott. Kenapa? Ternyata para pengangguran yang diterima kerja tersebut lebih loyal terhadap perusahaan.


Perusahaan-perusahaan teknologi informasi seperti Cisco dan Microsoft juga tidak ketinggalan. Cisco memberikan pelatihan gratis pada mereka-mereka yang tidak mampu tetapi berbakat untuk memperoleh sertifikasi dari Cisco. Microsoft membantu sekolah-sekolah di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam perancangan kurikulum pelajaran komputer. Ketika para siswa-siswa tersebut lulus, ketrampilan mereka bisa dipakai untuk mendukung produk-produk yang dihasilkan kedua perusahaan tersebut.


Itulah beberapa contoh perusahaan yang berhasil dalam menyelaraskan strategi dan program CSR mereka. Mereka tidak saja berhasil membantu lingkungan dan masyarakat setempat, namun juga perusahaan itu sendiri. Sinergi antara keduanya ternyata sangat mungkin dilakukan. Bila kita ingin menyelesaikan permasalahan sosial, mungkin kunci utamanya justru terletak pada keterlibatan sektor korporasi karena saat ini kekuatan korporasi telah melebihi kekuatan pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya. Yang menjadi masalah utama adalah sulitnya melakukan perubahan cara pikir yang selama ini melihat tujuan perusahaan dan CSR saling bertolak belakang.


Siapkah perusahaan Anda menjawab tantangan ini?

07 Februari 2007

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Investasi bukan Biaya

Tanggal : 7 Februari 2007
Sumber : http://klikharry.wordpress.com/2007/02/07/tanggung-jawab-sosial-perusahaan-investasi-bukan-biaya/


Oleh: Harry Wahyudhy Utama, S.Ked

Perusahaan selama ini dianggap sebagai biang rusaknya lingkungan, pengeksploitasi sumber daya alam, hanya mementingkan keuntungan semata. Kebanyakan perusahaan selama ini melibatkan dan memberdayakan masyarakat hanya untuk mendapat simpati. Program yang mereka lakukan hanya sebatas pemberian sumbangan, santunan dan pemberian sembako. Dengan konsep seperti ini, kondisi masyarakat tidak akan berubah dari kondisi semula, tetap miskin dan termarginalkan.

Tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang berbeda dimana perusahaan tersebut secara sukarela menyumbangkan sesuatu demi masyarakat yang lebih baik dan lingkungan hidup yang lebih bersih. Tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility) didasarkan pada semua hubungan, tidak hanya dengan masyarakat tetapi juga dengan pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor.

Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.

Citra perusahaan di mata masyarakat sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Teknologi informasi sekarang ini memudahkan masyarakat dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai penjuru dunia. Jika satu perusahaan tidak menunjukkan komitmen sosial yang baik di suatu daerah, informasi ini akan cepat tersebar luas ke berbagai penjuru dunia. Akibatnya akan terbentuk citra yang negatif. Sebaliknya, jika perusahaan menunjukkan komitmen sosial yang tinggi terhadap kegiatan kemanusiaan, pelestarian lingkungan, kesehatan masyarakat, pendidikan, penanggulangan bencana alam, maka akan terbentuk citra positif yang positif.

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep community development lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh trust (rasa percaya) dari masyarakat. Sense of belonging (rasa memiliki) perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

Dengan adanya citra positif ini, maka perusahaan akan lebih mudah memperoleh kepercayaan dari tiap-tiap komponen masyarakat. Perlu dilakukan beberapa langkah strategis guna mendapatkan citra yang positif ini, diantaranya komitmen antara pimpinan dan bawahan untuk mewujudkan setiap tanggung jawab sosial perusahaan dalam setiap kegiatan bisnisnya. PT. Newmont sebagai contohnya, untuk mengembalikan citra positif mereka akibat dugaan pencemaran di teluk buyat, PT. Newmont berkomitmen melanjutkan kegiatan reklamasi, pemantauan dan pengelolaan lingkungan terutama pengujian toksisitas terhadap larutan talling agar tidak melewati ambang batas dan tidak mencemari biota laut. Selain itu, PT Newmont telah menciptakan lapangan kerja, mengembangkan usaha masyarakat, pembangunan sarana jalan dan memberikan program pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat sekitar.

Strategi lainnya adalah pihak perusahaan secara terbuka membangun kemitraan dengan berbagai kalangan dan organisasi termasuk LSM yang profesional secara terbuka. Pimpinan perusahaan juga harus mampu menyampaikan informasi secara terbuka dan transparan sesuai dengan kapasitas mitranya.

Selain itu, perlu dibentuk departemen tersendiri yang menjalankan tanggung jawab sosial mereka seperti sebuah perusahaan yang berbasis di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau yang membentuk departemen tersendiri yang disebut Program Pemberdayaan Masyarakat Riau (PPMR) yang dipimpin oleh pejabat setingkat direktur.

Menurut hasil riset PIRAC (2003), bidang yang paling banyak diprioritaskan oleh kalangan dunia usaha adalah pelayanan kesehatan (82%), keagamaan (61%) dan pendidikan (57%). Derajat kesehatan sangat menentukan tingkat produktivitas karyawan perusahaan maupun kemampuan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan maupun pendapatan keluarga. Perusahaan di Indonesia harus mulai mengusung aktivitas tanggung jawab sosial mereka terutama bidang kesehatan, seperti revitalisasi posyandu, pendidikan keluarga sehat, pencegahan penyakit, program sanitasi dan program lainnya secara berkala dan berkesinambungan.

Bukan itu saja, prioritas di bidang kesehatan juga mencakup kesehatan dan keselamatan kerja. Hendaknya perusahaan memiliki komitmen untuk mencapai standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja terutama pada pekerjaan yang berpotensi menimbulkan bahaya, penyakit dan kecelakaan kerja. Kemudian menciptakan suatu kondisi yang mendekati “Zero Harm” bagi karyawan, mitra kerja, masyarakat di lingkungan kegiatannya, serta menjadi pemimpin dalam praktik pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Pemeriksaan kesehatan dan pemantauan lingkungan harus dilakukan secara berkala terhadap paparan dalam jangka panjang.

Dr. Tan Malaka, seorang spesialis di bidang okupasi kerja menyatakan bahwa dengan adanya pemeriksaan kesehatan dan pemantauan lingkungan, maka biaya yang dikeluarkan sebenarnya jauh lebih kecil daripada membayar biaya pengobatan seluruh karyawan dan ganti rugi perbaikan lingkungan. Dengan begitu, berarti perusahaan tidak membuang-buang uang. Selain produktivitas karyawan tetap terjaga, citra positif dimata masyarakat akan mulai dirasakan oleh perusahaan.

Inilah yang dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara yang pada tahun 2004 menerima Sertifikat Emas dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai wujud pengakuan terhadap prakarsa pencegahan kecelakaan dan kinerja keselamatan yang dicapainya pada tahun 2003.

Kita berharap, semoga tanggung jawab sosial perusahaan ini bukan hanya ingin mendapatkan kesan baik semata, tetapi lebih kepada suatu niat baik perusahaan sebagai salah satu bagian dari masyarakat.