06 November 2007

CSR dan Politik Ekonomi Kita

Tanggal : 06 November 2007
Sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=44871


Pada awalnya, perusahaan (korporasi) diciptakan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan manusia. Dari pelayanan tersebut kemudian korporasi mendapatkan reward dalam bentuk laba atau profit. Tetapi sekarang ini, sebagai sebuah produk hukum, korporasi dipersyaratkan untuk hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik atau pemegang saham sebagai tujuan utamanya. Sekilas, tidak nampak adanya pertentangan mencolok pada kedua perspektif tersebut. Tetapi sebenarnya, kedua pandangan itu mengandung kontradiksi dan bertumpu di atas landasan nilai yang berbeda yang menjadi pijakannya. Perspektif pertama menekankan bahwa keuntungan korporasi merupakan konsekuensi dari tindakan pelayanan atau pemenuhan kebutuhan terhadap konsumen, pengguna jasa, dan atau kliennya. Sementara pandangan kedua menekankan bahwa keuntungan merupakan tujuan utama yang absolut. Pelayanan adalah instrumen belaka untuk mendapatkan keuntungan maksimal.


Perbedaan kedua asumsi dasar tersebut mendasari polemik tentang konsep dan implementasi CSR (Corporate Social Responsibility) selama ini. Apalagi Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) yang disahkan oleh DPR pada bulan Juli lalu, memuat kewajiban CSR, terutama bagi korporasi yang bergerak di bidang sumber daya alam yang mengundang pro-kontra hingga saat ini. Sebagian pihak menyambut baik regulasi CSR karena akan mengikat korporasi untuk mengimplementasikan CSR secara nyata. Sementara pihak lain menentang regulasi CSR, terutama pelaku dunia usaha. Pasalnya, regulasi CSR dianggap mendistorsi prinsip-prinsip ekonomi dan spirit neoliberalisme yang telah dianut oleh berbagai bangsa, termasuk pemerintah negara kita.


Pro-CSR

Sumbangsih dan manfaat dari aktivitas korporasi tidak perlu lagi dipertanyakan karena memang demikian harapan awal mula penciptaannya. Tetapi pihak pro-CSR lebih menekankan pada fakta lapangan yang memperlihatkan adanya berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi. Tidak jarang malapetaka sosial dan lingkungan yang terjadi selama ini akibat dari aktivitas korporasi yang menyimpang dan tak terkontrol dengan baik, seperti kasus lumpur Lapindo. Di mana-mana kita dapat menemukan tingginya tingkat polusi; udara, suara, air sungai dan laut yang sedemikian parah. Hutan semakin menyusut, banjir dan kekeringan melanda setiap tahunnya.


Di samping itu, kerakusan korporasi juga berdampak terhadap tingginya tingkat kemiskinan dan kejahatan. Nilai-nilai budaya lama tergantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan masyarakat kita. Struktur sosial mengalami kerapuhan. Konsumerisme berlebihan dan fatalisme sosial menjadi biasa. Pola dan gaya hidup masyarakat telah didikte dan didesain oleh korporasi terutama dalam era globalisasi yang tak terelakkan ini.


Selain pengaruh negatif tersebut, pihak pro-CSR mengharapkan korporasi untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang kuat. Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli terhadap lingkungan sosialnya atau menjadi good corporate citizenship.


Politik Ekonomi

Selama ini, terjadinya penyimpangan atau akibat buruk dari sejumlah korporasi di berbagai belahan bumi ternyata menimbulkan reaksi keras dari berbagai pemikir sosial-ekonomi dan para aktifis. Kritik, tekanan dan demonstrasi kerap menghiasi dinamika global terutama sejak tahun 1970-an. Para ekonom, ahli manajemen, dan pelaku bisnis yang merasa kegerahan dengan serangan tersebut kemudian segera menata diri dan melakukan perlawanan, atau mengadopsi CSR sebagai rasionalisasi dari new strategic management mereka.


Salah seorang kampiun ekonom yang terus mengumandangkan penentangannya terhadap CSR hingga akhir hidupnya adalah Milton Friedman, seorang pemenang Nobel Ekonomi. Friedman menegaskan bahwa CSR mendistorsi prinsip-prinsip ekonomi dan merupakan penyimpangan dari hakikat penciptaan korporasi. Menurutnya, satu-satunya tujuan korporasi adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik atau pemegang saham, bukan untuk tujuan-tujuan sosial lainnya. Yang terpenting adalah bagaimana korporasi dapat berjalan dengan baik menurut aturan main yang ada. Karena itu, jangan pernah berharap adanya keikhlasan muncul dari sebuah korporasi untuk menerapkan CSR secara nyata dan sungguh-sungguh. Toh kalau CSR mesti diterima, itu hanya dalam keadaan dan batas-batas tertentu saja.


Memajang perempuan cantik di depan mobil yang hendak dijual, bukan berarti menjual perempuan tersebut. Tetapi tujuan utamanya adalah bagaimana menjual mobil tersebut. Demikian kiasan sang maestro ekonomi tersebut. Selain itu, berbagai hasil riset menemukan bahwa memang CSR didoktrinkan oleh kaum neoliberalis untuk melanggengkan sifat kerakusan korporasi dan sistem kapitalisme dunia. CSR diadopsi hanya sekadar trik managemen terkini atau siasat ekonomi baru. Karena itu, korporasi tidak pernah menerapkan prinsip-prinsip CSR sebenar-benarnya seperti yang dikampanyekan selama ini. Paling banter, CSR merupakan instrumen untuk meraih legitimasi sosial baru korporasi yang mengalami koreksi dan menempatkan CSR sebagai pilantropi korporasi yang merupakan kemasan dari politik ekonomi ketimbang implementasi komitmen moral dunia usaha seperti yang digembar-gemborkan.


Posisi Baru

Pro-kontra terhadap paradigma CSR jelas merefleksikan adanya kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda yang dipegangi oleh pihak-pihak terkait. Tetapi berdasarkan uraian di atas, peregulasian CSR bukan tanpa alasan. Posisi CSR mesti segera dipertegas karena sudah sekian lama CSR bertumpu di atas landasan yang rapuh. Sementara dampak buruk dari aktivitas korporasi terus berlangsung. Komitmen dan janji-janji moral korporasi yang ditunggu-tunggu untuk menerapkan prinsip-prinsip CSR secara bersungguh-sungguh tidak dapat dipegang sepenuhnya. Karena itu, pihak pro-CSR beranggapan bahwa sudah cukup alasan untuk meregulasikan CSR secara permanen.


Tidak dapat dipungkiri bahwa kewajiban CSR akan menjadi beban baru bagi korporasi, tetapi membiarkan CSR terombang-ambing di antara politik ekonomi dan klaim moralitas korporasi seperti selama ini, cukup membingungkan. Di samping itu, menunggu keikhlasan dan niat baik dari korporasi untuk melaksanakan CSR secara suka rela tanpa motif politik ekonomi, terasa sulit untuk dibayangkan. Korporasi mesti lebih ditekan dan diikat untuk melaksanakan CSR, demikian para penganut pro-CSR berargumen. Dan salah satu langkah dan pilihan paling rasional bagi mereka adalah meregulasikan CSR seperti yang telah dilakukan oleh DPR kita. Meskipun reaksi pro-kontra terus menyertai, keputusan telah diambil.


Suka atau tidak suka, regulasi CSR telah permanen. Pro-kontra pun biarlah tetap berlangsung untuk memperkaya wacana, tetapi tidak perlu destruktif atau set-back. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menafsirkan dan mengempirikkan kewajiban CSR tersebut dalam formulasi program secara tepat dan bijaksana. Bukti dan implementasi program akan terasa jauh lebih bermanfaat, ketimbang janji dan klaim moralitas belaka.

Tidak ada komentar: