Tanggal : 26 September 2007
Sumber: http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=13180&Itemid=31
SUATU pencerahan bagi rakyat Indonesia dengan dikeluarkanya Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007 yang mengatur kewajiban perusahaan untuk menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep ini mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya. Ada banyak hal yang harus diperhatikan perusahaan dalam pelaksanaan CSR ini. Yang pertama adalah kesejahteraan karyawan. Tidak hanya pembayaran gaji yang tidak boleh ditunda-tunda, namun juga penghargaa lain, seperti honor lembur, bonus untuk kinerja karyawan yang mendorong keuntungan perusahaan, cuti hamil dan melahirkan, dana pensiun, pesangon, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan.
Kedua adalah jaminan atas konsumen. Banyaknya temuan BBPOM yang saat ini sangat meresahkan masyarakat harusnya menumbuhkan kesadaran kita bersama bahwa masih banyak pengusaha yang memproduksi barang-barang yang kita konsumsi tidak memperdulikan kesehatan dan keselamatan konsumennya. Ketiga adalah tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menerapkan tanggung jawab sosial ini. Dan banyak juga perusahaan yang telah melakukannya. Yang terakhir adalah tanggung jawab lingkungan. Tanggung jawab yang keempat ini masih sangat jarang dilakukan oleh perusahaan, khususnya di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Lindrianasari (2006) berhasil mengidentifikasi sebanyak lebih dari 250 perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta. Melalui evaluasi dengan melihat isi pengungkapan laporan keuangan tahun 2004 dan 2005 yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam melestarikan lingkungan, berhasil ditemukan bahwa rata-rata perusahaan yang peduli terhadap konservasi lingkungan hanya sebesar 1,89 (dari skor 1 sampai 3). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan di Indonesia kurang dari 50% perusahaan yang listing tersebut secara sukarela mengalokasikan dana perusahaan untuk konservasi lingkungan. Dan itu baru sebatas mengalokasikan dana untuk konservasi lingkungan, namun seberapa berartikah dana tersebut bagi lingkungannya? Tidak dapat disimpulkan karena dari keseluruhan perusahaan yang diteliti hanya sekitar 10 persen yang mencantumkan jumlah moneter untuk konservasi lingkungan ke dalam laporan keuangan atau catatan tambahan atas laporan keuangan perusahaan. Keempat butir yang dijelaskan di atas adalah bagian yang terintegral di dalan CSR.
Seperti yang terjadi di banyak negara berkembang, Indonesia telah memiliki suatu kerangka kerja untuk konservasi lingkungan. Peraturan tentang manajemen lingkungan tahun 1982 yang kemudian direvisi tahun 1997 telah menyediakan suatu legalitas untuk mengawasai dan memaksa dipatuhinya regulasi yang dikelurkan oleh pemerintah tersebut. Sejak tahun 1986, pihak pemerintah melalui Bapedalda yang resmi berdiri tahun 1990, telah melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Selain itu juga, agen-agen yang bertujuan untuk mengendalikan dampak lingkungan berdiri semarak di Indonesia di bawah lembaga non-pemerintah (NGO). Tidak kurang dari 40 NGO baik yang lokal, maupun yang internasional terdaftar di KLH. Dan mereka semua adalah pihak-pihak yang memiliki atensi terhadap lingkungan.
Lebih jauh lagi, suatu nota kesepahaman (MoU) antara KLH dengan BI telah ditandatangani tahun 2005 yang lalu sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penetapan Peringkat Kualitas Aktiva bagi Bank Umum. Aspek lingkungan menjadi salah satu variabel penentu dalam pemberian kredit dan kinerja lingkungan yang dikeluarkan oleh KLH melalui proper adalah tolok umur mereka (Tempo, 8 April 2005). Sehingga ke depannya, setiap perusahaan yang ingin mendapatkan kredit perbankan harus memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan. Regulasi terakhir yang memperlihatkan upaya pemerintah untuk mengendalikan lingkungan hidup adalah dengan mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007, pasal 74 yang menyebutkan bahwa perseroan wajib melaksanakan CSR. Konsekuensi dari pelanggarnya adalah sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Nota kesepahaman dan UU PT tahun 2007 ini adalah harapan baru bagi pencerahan kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Namun monitoring dan post auditing mutlak harus dilakukan untuk menjamin tidak adanya penyimpangan di dalam penerapannya (Lindrianasari, 2001). Selain itu juga, supremasi hukum harus ditegakkan. Karena tanpa adanya kepastian dan penegakan hukum, maka aturan-aturan tersebut tidak akan pernah memihak dan menjadi milik rakyat (Decker et al.; 2005).
Niat Perusahaan untuk Melestarikan Lingkungan
Jika dihitung dengan menggunakan nilai mata uang, berapa nilai yang harus dilekatkan kepada pengorbanan masyarakat akibat kerusakan lingkungan? Sepertinya tidak ada satu nilai pun yang dapat membayar nyawa yang melayang karena keracunan limbah.
Sejauh mana tanggung jawab dari pihak perusahaan untuk mengatasi masalah ini? Dari sekian banyak penelitian, baik di negara maju maupun di negara berkembang, ternyata niat perusahaan untuk mengalokasikan dana perusahaan untuk biaya sosial (di dalamnya termasuk untuk lingkungan) masih sangat kurang.
Hasil wawancara langsung terhadap manajer yang menjadi responden penelitian di negara maju membuktikan bahwa pihak manajemen enggan melaporkan kerusakan lingkungan yang terjadi di perusahaan mereka dalam laporan keuangan. Mereka tidak menginginkan kejadian buruk tersebut ”tercatat”, sehingga akan selalu diingat oleh para pemakai laporan. Selain itu, penelitian di Tiongkok (Zhow; 1996) menunjukkan bahwa hal-hal yang wajib dilaporkan perusahaan yang menyangkut masalah lingkungan di dalam laporan keuangan tahunan perusahaan masih belum sesuai dengan ketentuan.
Penelitian di bidang akuntansi lingkungan memang masih terbatas jumlahnya. Lindrianasari (2003) dengan mengambil sampel Provinsi Lampung juga memperlihatkan banyaknya penolakan perusahaan yang membuang limbah ke perairan sungai untuk menjadi sampel penelitian. Dari 52 perusahaan yang terdaftar sebagai populasi penelitian, hanya tujuh perusahaan (kurang dari 2%) yang mengizinkan untuk dilakukan audit terhadap kualitas lingkungannya. Dan sudah dapat diyakini sebelumnya bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan yang tidak bermasalah dengan lingkungan. Semua hal di atas jelas membuktikan bahwa niat sebagian besar perusahaan dalam melestarikan lingkungan masih sangat kurang.
Mengapa CSR Harus Diterapkan Perusahaan?
Perusahaan adalah sebuah organisasi yang dalam operasional sehari-harinya mengeksploitasi sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya demi kemakmuran internal stakeholders non-manajemen dan (bahkan yang terutama) bagi manajemennya, kemudian menjadi aktor utama penyebab kerusakan lingkungan.
Mungkin masih ada beberapa perusahaan yang memandang bahwa biaya lingkungan tidak memiliki keberartian bagi perusahaan. Pandangan yang seperti ini pada akhirnya muncul di dalam bentuk tidak adanya dana lingkungan dalam anggaran perusahaan. Dalam tataran yang sangat rendah dan dalam horizon waktu yang relatif pendek, mungkin pandangan ini masih memiliki justifikasi pembenaran. Namun, kalau kita coba untuk menaikkan sedikit ke lingkungan yang lebih luas dan dalam horizon waktu yang relatif lama, maka biaya lingkungan akan terlihat sebagai sesuatu permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya.
Banyak kasus yang mengundang simpati dan membuahkan kepiluan akibat kelalaian perusahaan dalam melakukan konservasi lingkungan. Kasus PT Indo Rayon Utama di Porsea, Sumatera Utama, yang membuang limbah di areal permukiman dan mencemari lingkungan hidup, kini ditutup akibat reaksi keras masyarakat sekitar. Kasus pencemaran air di Jawa Timur yang membuat bayi lahir cacat dan air susu ibu yang tercemari akibat buangan limbah air dan gas di daerah perairan yang mengandung merkuri. Selain itu, sebagian besar pelajar sekolah dasar menjadi lamban menerima pelajaran sekolah. Semua diduga disebabkan oleh pencemaran lingkungan.
Kasus lahirnya bayi-bayi tanpa dinding perut di daerah pertambangan, juga diduga akibat pencemaran air limbah dan masih banyak lagi kasus-kasus yang sesungguhnya menjadi tempat kita berkaca tentang apa yang telah kita lakukan terhadap alam ini.
Kasus kebocoran instalasi nuklir di Chernobyl, misalnya. Hingga kini masih menghantui masyarakat dunia terhadap nuklir. Musibah yang tidak hanya terbatas pada daerah Uni Soviet di mana instalasi itu berada, namun juga meluas hingga ke wilayah Eropa Barat. Pada saat itu terdapat larangan mengonsumsi susu yang diproduksi di daerah-daerah tersebut karena telah terkontaminasi radioaktif chernobyl.
Kebocoran pabrik kimia di India (Bophal), juga telah membukakan mata sebagian besar penduduk dunia tentang risiko yang harus diderita umat manusia jika konservasi alam diabaikan. Tragedi Bophal telah membunuh ribuan penduduk di sekitar perusahaan tersebut. Yang bahkan tidak pernah merasakan manfaat keberadaan perusahaan tersebut, yang menghisap udara yang telah tercemar methyl isocyanate, sejenis senyawa kimia yang sangat berbahaya.
Legitimasi CSR
Penelitian di bidang hukum lingkungan (Mercer, 2005) menyatakan bahwa lemahnya perangkat hukum di suatu negara akan sangat mempengaruhi tingkat kerusakan lingkungan di negara tersebut. Pihak regulator, dalam hal ini pemerintah bersama perangkat kerja yang terkait lainnya, sudah seharusnya menunjukkan perhatian yang serius terhadap kondisi yang terjadi. Jika aturan yang ada saat ini sudah sangat lemah dalam mengendalikan tindakan negatif pihak manajemen dan perusahaan, maka kebutuhan aturan baru terhadap sangsi hukum yang keras bagi tiap pelanggarannya sudah sangat mendesak.
Lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan juga akan sangat mewarnai keberhasilan pengendalian lingkungan. Karena melalui lembaga inilah rakyat kecil yang merupakan powerless stakeholders akan memperoleh kesempatan untuk menyuarakan kepentingan mereka demi memperoleh kualitas lingkungan hidup yang lebih baik. (*)