04 Oktober 2005

Warna-warna CSR

Tanggal: 4 Oktober 2005
Sumber: http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?w=indo&x=filantropi&y=detail&z=f2bd27d285dae59148160c120c769912


Wartawan Kompas, Simon Saragih dalam presentasinya di forum pertemuan Corporate Forum for Community Development (CFCD) ke-11 yang diadakan di gedung Pertamina pusat, 13 September lalu, mengungkapkan bahwa dirinya pernah punya pandangan negatif terhadap korporasi. Namun pada hari itu juga pandangan negatifnya terhadap korporasi memudar setelah mendengar presentasi peran Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan besar terhadap pemberdayaan masyarakat.


Malah di penghujung presentasinya ia mencoret kalimat korporasi yang terangkai dalam hipotesanya. Apakah Pemerintah Pusat, Pemda, Korporasi sudah punya perhatian untuk rakyat miskin di Indonesia? Hipotesa: Jauh panggang dari api … !

Simon barangkali tidak sendiri, banyak kalangan masih meragukan peran korporasi dalam turut serta membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Kalau toh ada yang peduli, sebagian orang melihat kepedulian sosial sebuah perusahaan hanya dipandang sebagai public relation semata.

Hal ini dapat dimafhumi mengingat tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang nyata-nyata menempatkan departemen CSR-nya sekadar PR. Maka dalam kesempatan yang sama, Drs. Rudi Fajar, Ak., MBA, Ketua CFCD Chapter Riau membuat spektrum pelaku CSR.

Dia membagi ke dalam empat kelompok dengan memberinya tanda warna hitam, mera, biru, dan hijau. Hitam (tidak perlu melakukan CSR) adalah kelompok yang tidak melakukan praktek CSR sama sekali, bahkan bagi karyawannya sendiri sekali pun. Merah (CSR adalah biaya) adalah kelompok yang mulai melaksanakan paraktek CSR; namun mereka masih menganggap praktek CSR adalah merupakan komponen biaya, yang akan mengurangi porsi keuntungan.

Selanjutnya warna Biru (CSR adalah investasi), kelompok ini percaya bahwa praktek CSR yang baik akan memberikan kontribusi positif bagi perusahaan dalam jangka panjang. Praktek CSR dianggap investasi, bukan lagi komponen biaya. Dan terakhir Hijau (CSR adalah ekuitas), kelompok ini menterjemahkan praktek CSR ke dalam perencanaan strategis usaha dan memasukkannya sebagai core value perusahaan. Mereka bahkan menganggap praktek CSR merupakan kewajiban (lawan dari sukarela) untuk memenuhi kebutuhan perusahaan (yaitu melaksanakan praktek CSR). Praktek CSR diyakini akan menciptakan social capital (ekuitas).

Rudi Fajar di akhir presentasinya lantas melempar pertanyaan kepada peserta forum CFCD ke-11. “Di posisi manakah perusahaan Anda hari ini?” Layaknya budaya bangsa kita, jika dilontarkan pertanyaan jarang yang mau merespon. Biasanya cenderung diam pura-pura tidak tahu atau kurang mendengar. Dalam kebisuan sesaat, seorang peserta dari sebuah perusahaan besar nyeletuk, “Di warna merah!”.

Gelak tawa pun meledak. Entah mentertawakan siapa, tetapi dari semua peserta yang hadir memiliki persepsi sama ingin turut ambil bagian dalam pengentasan kemiskinan. Dugaan bahwa CSR sekadar PR pun coba ditepis oleh PT Pertamina. Menurut Divisi Humas Korporat, CSR Pertamina tidak memiliki alokasi dana khusus untuk mempublikasi program-program CSR-nya. Malah mereka cenderung diam-diam untuk menghindari unsur “pamer”.

Kaitan antara CSR dengan publikasi ini menghadirkan komentar dari seorang peserta, Rusni Kartina, Business Development Manager PT HM Sampoeran Tbk. Menurutnya tidak ada dukungan dari kalangan media massa untuk mempublikasi aktivitas CSR di tanah air. Kalau toh ada konsekuensinya musti membayar dengan cost yang lumayan besar.

Maka Dompet Dhuafa pada kesempatan itu meawarkan diri mengundang perusahaan-perusahaan yang memiliki program CSR untuk memanfaatkan lembar FILANTROPI di Rerublika yang terbit setiap hari Jumat. Tawaran itu memantik respon Simon Saragih, “Saya kira tidak hanya di Republika, Kompas saya rasa juga mendukung”, prolognya saat mengawali presentasi.

Jika demikian, selama CSR berkhidmad pada keberdayaan masyarakat miskin tanpa embel-embel PR, sudah semestinya diberi ruang untuk publikasi. Iskandar Zulkarnai, salah seorang pengusaha muslim misalnya, terang-terangan menegaskan bahwa kepedulian sosial perusahaannya tidak ada kaitannya dengan PR. Bahkan ia membangun perusahaannya dengan landasan sedekah.

Hari ini masyarakat hidup dalam kondisi serba berat. Kalangan dhuafa makin tergilas dalam ketidakberdayaan. Jika perusahaan-perusahaan melalui program CSR-nya terus meningkatkan kepeduliannya, pastilah sangat membantu hidup mereka. Insya Allah perusahaan tidak akan bangkrut karena bersedekah. Justru dengan CSR prestasi keuangan perusahaan akan meningkat.

Hal ini diamini oleh Mantan PM Thailand Anand Panyarachun yang mengatakan: “CSR dipandang suatu keharusan untuk membangun citra yang baik dan terpercaya bagi perusahaan. Melaksanakan praktek-praktek yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham, dan berdampak pada peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.”

Jadi untuk pindah ke warna Hijau tunggu apalagi? sunaryo adhiatmoko